Pengalaman Hidup
Ketika sampai di Singapore General Hospital (SGH), kata ibu saya setelah saya diturunkan dari ambulance. Dokter disana langsung dengan sigap mendorong saya ke ruang ICU. Ketika orang tua saya dan kakak saya sampai saya telah selesai dipasang semua alat-alat (Ventilator, selang makan, selang untuk pembuangan). Ketika ibu saya sampai diruang ICU, ibu saya disuruh untuk tanda tangan. Ibu saya heran mengapa harus tanda tangan? Kata dokternya "Selamatkan nyawa anak anda". Langsung ibu saya dengan sigap mentanda tanganinya. Tanda tangan itu untuk membuka lubang di paru-paru sebelah kanan saya, karena di dalam paru-paru saya kelebihan gas CO2 (karbondioksida). Jadi lubang tersebut berfungsi untuk keluar gas CO2.
Setelah dirawat kurang lebih satu minggu, perlahan-lahan saya sadar. Saya berkomunikasi dengan dokter ruangan ICU dengan menggunakan buku petunjuk. Saya bertanya dimana ibu saya?. Lalu mereka memanggil ibu saya yang kebetulan ibu saya sedang duduk di ruang tunggu. Ibu saya langsung masuk, tetapi harus menggunakan pakaian khusus supaay ruangan ICU tetap steril. Ketika ibu saya masuk, ibu saya menangis karena bersyukur bahwa saya sudah sadar meskipun saya belum bisa bergerak. Dokter tercengang karena dokter memprediksikan karena kemungkinan untuk hidup sangatlah kecil. Saya pun mulai menjalani fisioterapi, setelah kurang lebih satu minggu. Dokter mengatakan bahwa saya harus membuka lubang di daerah tenggorokan. Saya terkejut dan menangis karena kenapa harus dibuka. Lalu dokter menjelaskan bahwa dengan membuka lubang di tenggorokan (Thraceostomy) untuk menjaga pita suara saya apabila menggunakan selang yang masuk ke mulut lebih dari akan merusak pita suara saya, sehingga setelah sembuh ditakutkan saya tidak dapat berbicara dengan jelas. Dengan percaya diri saya katakan iya dengan kode mengangguk-angguk. Saya berdoa kepada Tuhan agar operasi tersebut dapat berjalan dengan lancar.
Operasi pembukaan thraceostomy berjalan dengan lancar, ketika sadar saya sudah berada diruangan saya. Malam harinya, saya sempat kekurangan darah dan terpaksa harus segera transfusi darah, ibu saya langsung di telepon pihak rumah sakit. Ibu saya bingung karena dimana harus mencari darah, lalu pihak rumah sakit mengatakan "Apa bila ibu saya bilang ok, maka pihak rumah sakit langsung melakukannya"dan ibuku mengatakan "ok". Lalu pihak rumah sakit langsung melakukan transfusi darah kepada saya.
Setiap hari saya tidak bisa tidur karena merasa tidak nyaman dengan keadaan saya pada saat itu tidak nyaman karena tidak bisa bergerak. Hari demi hari saya jalani, treatment penyembuhan mulai dari minum obat dan fisioterapi, saya juga tidak lupa untuk selalu berdoa meminta pertolong kepada Tuhan agar hari demi hari ada perubahan kecil untuk kesembuhan saya agar ibu saya tidak sedih dengan melihat kondisi saya. Saya mulai perlahan-lahan menanyakan ibu saya soal dimana ia tinggal selama di singapura dengan menggunakan buku petunjuk, kata ibu saya "kamu tidak perlu khawatir mama ada tempat untuk tinggal". Dengan melihat kondisi saya yang semangat untuk hidup maka para dokter memutuskan untuk tidak perlu membayar biaya dokter selama saya rawat. Pada saat itu mereka langsung membuat memo dan diberikan kepada pihak keuangan di SGH dan ibu saya hanya membayar biaya dokter selama satu minggu pertama saja.
Seiringnya berjalan hari demi hari, saya diberi tahukan oleh dokter disana bahwa kondisi saya sudah agak baik dan sudah bisa dipindahkan ke ruang ICA. Namun ketika saya pindah, saya masih harus menggunakan ventilator. Ibu saya bertanya kepada dokter berapa lama saya harus menggunakan ventilator, jawaban dari dokter " bisa selama satu bulan, dua bulan, bahkan bisa sampai satu tahun". Ibu saya menangis dan bertanya-tanya sampaikan anak saya harus menggunakan ventolator. Selama ibu saya di rumah sakit, ibu saya banyak mendapatkan pertolongan mulai dari dana sampai doa. Ibu saya sangat berterima kasih karena doa-lah yang sangat paling menguatkan saya dan ibu saya. Berbicara tentang doa, kata ibu saya setiap hari jam 12 tengah malam ibu saya berdoa "Rosario", agar saya bisa sembuh, diberikan kekuatan oleh Yesus Kristus agar ibu saya dapat menjaga saya.
Setiap hari diruang ICA saya selalu melihat ke arah pintu untuk menunggu ibu saya untuk masuk sehingga dapat menghibur dan menemani hari-hariku biar pun cuma sebentar. Beberapa hari setelah saya rawat di ruangan ICA, dokter disana mengatakan bahawa saya harus dibuka lagi untuk yang kedua kalinya lubang di paru-paru, karena lubang sebelumnya tersumbat oleh aliran darah. Hari itu juga, mereka membuka lubang tersebut dalam kondisi sadar. Perawat disana heran mengapa lubang thraceostomy saya semakin besar dan memanggil dokter untuk melihat lubang tersebut. Kata dokter saya terlalu banyak melihat kearah pintu jadi alat dari thraceostomy itu bergeser dan membuat lubangnya semakin besar. Saya menjadi takut karena lubang tersebut makin besar. Jadi dokter membetulkan posisi thraceostomy dan menyarankan saya agar tidak hanya melihat satu arah saja.
Pada tanggal 12 Februari 2013, salah satu dokter ingin membuat sebuah alat agar saya dapat berkomunikasi, namun ketika berkomunikasi suara saya akan seperti robot. Namun saya sekali tidak jadi karena dalam 2 hari, pada tanggal 14 Februari 2013 saya harus di evakusi kembali ke Pontianak. Karena terkendala biaya rumah sakit yang cukup mahal, dan saya sangat berterima kasih kepada semua perawat dan dokter di Singapore General Hospital karena sudah menjaga dan merawat saya dengan penuh kesabaran dan kasih sayang sehingga saya sadar dari koma yang bisa dibilang sangat lama.
Operasi pembukaan thraceostomy berjalan dengan lancar, ketika sadar saya sudah berada diruangan saya. Malam harinya, saya sempat kekurangan darah dan terpaksa harus segera transfusi darah, ibu saya langsung di telepon pihak rumah sakit. Ibu saya bingung karena dimana harus mencari darah, lalu pihak rumah sakit mengatakan "Apa bila ibu saya bilang ok, maka pihak rumah sakit langsung melakukannya"dan ibuku mengatakan "ok". Lalu pihak rumah sakit langsung melakukan transfusi darah kepada saya.
Setiap hari saya tidak bisa tidur karena merasa tidak nyaman dengan keadaan saya pada saat itu tidak nyaman karena tidak bisa bergerak. Hari demi hari saya jalani, treatment penyembuhan mulai dari minum obat dan fisioterapi, saya juga tidak lupa untuk selalu berdoa meminta pertolong kepada Tuhan agar hari demi hari ada perubahan kecil untuk kesembuhan saya agar ibu saya tidak sedih dengan melihat kondisi saya. Saya mulai perlahan-lahan menanyakan ibu saya soal dimana ia tinggal selama di singapura dengan menggunakan buku petunjuk, kata ibu saya "kamu tidak perlu khawatir mama ada tempat untuk tinggal". Dengan melihat kondisi saya yang semangat untuk hidup maka para dokter memutuskan untuk tidak perlu membayar biaya dokter selama saya rawat. Pada saat itu mereka langsung membuat memo dan diberikan kepada pihak keuangan di SGH dan ibu saya hanya membayar biaya dokter selama satu minggu pertama saja.
Seiringnya berjalan hari demi hari, saya diberi tahukan oleh dokter disana bahwa kondisi saya sudah agak baik dan sudah bisa dipindahkan ke ruang ICA. Namun ketika saya pindah, saya masih harus menggunakan ventilator. Ibu saya bertanya kepada dokter berapa lama saya harus menggunakan ventilator, jawaban dari dokter " bisa selama satu bulan, dua bulan, bahkan bisa sampai satu tahun". Ibu saya menangis dan bertanya-tanya sampaikan anak saya harus menggunakan ventolator. Selama ibu saya di rumah sakit, ibu saya banyak mendapatkan pertolongan mulai dari dana sampai doa. Ibu saya sangat berterima kasih karena doa-lah yang sangat paling menguatkan saya dan ibu saya. Berbicara tentang doa, kata ibu saya setiap hari jam 12 tengah malam ibu saya berdoa "Rosario", agar saya bisa sembuh, diberikan kekuatan oleh Yesus Kristus agar ibu saya dapat menjaga saya.
Setiap hari diruang ICA saya selalu melihat ke arah pintu untuk menunggu ibu saya untuk masuk sehingga dapat menghibur dan menemani hari-hariku biar pun cuma sebentar. Beberapa hari setelah saya rawat di ruangan ICA, dokter disana mengatakan bahawa saya harus dibuka lagi untuk yang kedua kalinya lubang di paru-paru, karena lubang sebelumnya tersumbat oleh aliran darah. Hari itu juga, mereka membuka lubang tersebut dalam kondisi sadar. Perawat disana heran mengapa lubang thraceostomy saya semakin besar dan memanggil dokter untuk melihat lubang tersebut. Kata dokter saya terlalu banyak melihat kearah pintu jadi alat dari thraceostomy itu bergeser dan membuat lubangnya semakin besar. Saya menjadi takut karena lubang tersebut makin besar. Jadi dokter membetulkan posisi thraceostomy dan menyarankan saya agar tidak hanya melihat satu arah saja.
Pada tanggal 12 Februari 2013, salah satu dokter ingin membuat sebuah alat agar saya dapat berkomunikasi, namun ketika berkomunikasi suara saya akan seperti robot. Namun saya sekali tidak jadi karena dalam 2 hari, pada tanggal 14 Februari 2013 saya harus di evakusi kembali ke Pontianak. Karena terkendala biaya rumah sakit yang cukup mahal, dan saya sangat berterima kasih kepada semua perawat dan dokter di Singapore General Hospital karena sudah menjaga dan merawat saya dengan penuh kesabaran dan kasih sayang sehingga saya sadar dari koma yang bisa dibilang sangat lama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar